Jumat, 21 April 2023

Pelakukan kedua orang tuamu sebagai Tuhan

Para sahabat yang terkasih! Untuk kelahiranmu ke dunia, untuk pertumbuhan dan perkembanganmu, untuk pendidikanmu –  untuk semua hal ini, engkau harus menjaga nama baik orang tuamu. Dalam Taittiriya Upanishad – Siksha Valli – 1-11-2 disebutkan dengan:

Matru Devo bhavah (perlakukan ibu sebagai Tuhan)

Pitru Devo bhavah (perlakukan ayah sebagai Tuhan)

Acharya Devo bhavah (perlakukan guru sebagai Tuhan)

Atithi Devo bhavah (perlakukan tamu sebagai Tuhan) 

Tidak peduli betapa tinggi jabatan serta kedudukanmu dalam hidup, bahkan jika engkau menjadi perdana mentri, engkau adalah masih sebagai putra dari ibumu. Pertama dan utama, sayangi dan hormati ibumu. Kedua, hormati ayahmu. Dunia tidak akan pernah bisa menghormati seseorang yang tidak menghormati kedua orang tuanya.

Para sahabat terkasih! Setiap dari dirimu harus duduk dalam keheningan dan merenungkan beberapah hal yang penting ini: “Makanan, darah dan kepala” adalah hadiah dari orang tua. Pertama berikan rasa terima kasih kepada orang tua. Dimanapun kita memandang pada saat sekarang, para pelajar bahkan tidak merasakan rasa syukur kepada orang tua mereka! Orang tua juga memanjakan anak-anak mereka dan bukannya menunjukkan kekurangan dalam karakter mereka. Anak-anak menganggap orang tua sebagai “teman”! Orang tua seharusnya tidak membiarkan perilaku yang sembrono seperti itu. Mengapa? Ini hanya akan menghancurkan masa depan anak.

Ada sebuah kisah dalam hidup Premchand. Ada sebuah contoh yang indah dalam hidupnya. Dia memiliki dua putra yang sedang belajar di Allahabad. Premchand dan istrinya berencana untuk berangkat ke Nainital suatu hari nanti. Mereka memberi tahu kedua putra mereka, "Kalian harus datang dan mengantar kami ke stasiun kereta api". Kedua putranya pergi ke stasiun seperti yang diperintahkan. Putra sulung menyentuh kaki orang tuanya dan berkata, “Namaste, ayah. Namaste, ibu”. Putra kedua berjalan dengan angkuh dengan tangan di sakunya dan berseru, "Bagaimana kabarmu, ibu dan ayah?" [Tertawa] Dia tidak memberi hormat atau menunjukkan rasa hormat. Premchand terkejut, tetapi dia tetap diam, hanya berbicara tentang sekolah dan kesehatan mereka. Kereta api mulai bergerak. Putra tertua berdiri dengan hormat dengan tangan tercakup di peron sampai kereta menghilang dari pandangan. Putra bungsunya berteriak, “Ayah, Ibu, bye bye”!

Di dalam kereta api, Premchand sangat gelisah. Dia mondar-mandir dengan gelisah. Istrinya bertanya, “Apa yang sedang engkau pikirkan?” Dia menjelaskan, “Apakah kamu tidak memperhatikan? Putra bungsu kita tidak menunjukkan rasa hormat kepada kita?” Istrinya berkata, “Kasihanilah dia masih muda dan belum berpengalaman. Mengapa engkau mencari kesalahannya? Mengapa mengkhawatirkan hal sepele seperti itu?” Premchand berbaring. Sebelum tertidur, dia memberi tahu istrinya lagi, “Putra bungsu kita tidak menunjukkan rasa hormat kepada kita”. Dia tidak bisa memikirkan hal lain. Dia berbicara tentang kejadian ini dalam banyak kesempatan. Istrinya selalu menjawab untuk membela putra mereka, “Apakah dia telah menyakiti kita? Engkau harus berhenti mengkhawatirkannya”. Premchand akan memberitahunya dengan tegas, “Kamu pikir aku mengkhawatirkan diriku sendiri? Tidak. Perilaku seperti itu akan membahayakan masa depannya sendiri.” Hanya pelajar yang menghormati orang tua dapat menikmati masa depan yang aman dan terjamin.

Kebenaran ini sangat jelas ditunjukkan dalam kehidupan putra-putra Premchand. Anak laki-laki yang lebih tua lulus ujian dengan gemilang dan, pada waktunya, menjadi hakim di Pengadilan Tinggi Allahabad. Kemana pun dia pergi di kota, orang-orang menghormatinya. Putra bungsunya bekerja sebagai juru tulis, juga di Allahabad. Jangankan menerima rasa hormat, dia harus memberi hormat kepada semua orang! Apa pesan yang disampaikan? Seseorang yang menghormati orang tuanya menjadi layak dihormati semua orang. Orang yang tidak menghormati orang tuanya terpaksa tunduk kepada semua orang. Hukum yang tak terelakkan ini tidak akan pernah bisa diubah oleh siapa pun.

Apapun gelar dan jabatanmu, hormati dulu orang tuamu. Orang tua mungkin memberimu kebebasan karena keterikatan mereka. Sayangi dan hormati mereka, dan jangan menyalahgunakan kebebasan itu. Dari sudut pandang mereka, mereka telah memberimu kebebasan tertentu. Dari sudut pandangmu, engkau dapat menggunakan kebebasan secara konstruktif. Hormati orang tuamu.



 

Kamis, 21 April 2022

Kebencian adalah Kanker yang menghancurkan diri sendiri

Pada suatu hari ada seorang pendeta sedang merawat sebuah kebun yang indah dengan menanam berbagai jenis bunga dan pohon. Bahkan di dalam diri pendeta tersebut masih ada sifat egoisme dan rasa cemburu juga masih mengakar. Ketika sifat egoisme dan cemburu hadir maka kebencian akan mulai bergabung. Melihat hal ini, Tuhan yang merasa bahwa pendeta yang memakai jubah kebesaran dan menyatakan telah melepaskan semua keterikatan, seharusnya tidak memiliki sifat-sifat yang buruk itu. Tuhan memasuki kebun milik pendeta itu dengan menyamar sebagai seorang Brahmana untuk merubah sang pendeta.

Sang Brahmana melihat sebuah pohon dan memuji keindahan bunga dan buah yang ada, sang Brahmana menanyakan pada pendeta yang bertanggung jawab dalam merawat kebun yang indah itu. Sang pendeta menjawab: "Oh, Brahmana yang mulia, aku adalah orang yang membuat kebun ini dengan usaha yang tidak kenal Lelah siang dan malam, merawat setiap tanaman seperti merawat anak sendiri. Setiap pohon yang ada adalah saya yang menanam dan merawatnya. Semua perawatan dan keindahan kebun ini adalah hasil karyaku." Dan seterusnya, pendeta itu membuah bahwa ‘segalanya adalah pekerjaannya dan prestasinya.’ "Semua bunga-bunga dan buah yang ada ini aku tanam untuk kepentingan yang lainnya," dia berkata. Brahmana itu pergi dan tidak lama kemudian seekor sapi memasuki kebun itu dan menyebabkan kerusakan pada tanaman dan pohon yang ada. Melihat keadaan ini dari kejauhan, pendeta itu mengambil sebuah kayu besar dan melemparkannya ke arah sapi itu. Pada saat kayu itu mengenai sapi itu, maka sapi itu menjadi mati. Pendeta itu menjadi ketakutan bahwa dia bisa disalahkan dengan sebuah dosa telah membunuh sapi (go-hathya).

Sementara itu, sang Brahmana kembali dan melihat mayat sapi dan berseru: "Kasihan sekali! Siapa yang telah membunuh sapi yang malang ini?" Pendeta itu menjawab: "Ini semua adalah karena kehendak Tuhan. Jika tidak, akankah sapi bisa kehilangan nyawanya, bahkan jika seseorang ingin membunuhnya?" Segera Brahmana itu berkata: "Engkau memelihara kebun dan engkau yang membuat tanaman dan bunga itu mekar. Namun ketika seekor sapi mati di kebunmu, maka Tuhan yang bertanggung jawab atas kematiannya, bukan? Engkau mengklaim semua pujian untuk semua hal baik yang terjadi, namun ketika sesuatu yang tidak diinginkan terjadi engkau menghubungkannya kepada Tuhan. Kesombonganmu benar-benar tidak pantas." Brahmana kemudian mengungkapkan wujud-Nya yang sesungguhnya dan berkata: "Aku bukanlah seorang Brahmana. Aku mengambil wujud ini hanya untuk menghilangkan ego di dalam dirimu yang telah mengakar di dalam dirimu."

Setiap orang harus berusaha untuk melepaskan diri dari egoisme, kecemburuan dan kebencian. Melepaskan sifat-sifat buruk ini tidak dapat dicapai hanya dengan mempelajari buku. Diperlukan upaya terus-menerus. Dengan memupuk kasih dan mempersembahkan semua tindakan kepada Tuhan, sifat-sifat jahat ini harus disingkirkan. Selama kecemburuan masih ada, sekecil apa pun, itu akan menghancurkan setiap kualitas baik dalam diri kita.

Hal ini dinyatakan dalam Bhagavad Gita Bab 9, sloka 1 :


इदं तु ते गुह्यतमं प्रवक्ष्याम्यनसूयवे |
ज्ञानं विज्ञानसहितं यज्ज्ञात्वा मोक्ष्यसेऽशुभात् || 1||

idaṁ tu te guhyatamaṁ pravakṣhyāmyanasūyave
jñānaṁ vijñāna-sahitaṁ yaj jñātvā mokṣhyase ’śhubhāt

Krishna memberi tahu Arjuna, "Oh Arjuna, bebaskan dirimu dari sifat-sifat buruk iri hati dan kebencian. Jadilah Anasuuyaka (orang yang tidak memiliki iri hati dan kebencian)." Kebencian tidak hanya merugikan orang lain tetapi juga merusak diri sendiri. Bagi orang yang penuh dengan kebencian, tidak akan bisa tidur dan dia bahkan tidak bisa makan dengan sepenuh hati. Ibarat penyakit konsumtif yang melemahkan seseorang dari dalam. Kebencian adalah penyakit akut yang tersebar luas di jaman Kali ini (zaman konflik). Karena kebencian manusia menjadi mangsa Ashanthi (ketidakdamaian).



Selasa, 12 April 2022

Sifat mementingkan diri sendiri menyebabkan konflik dan pertikaian

Selama 14 tahun para Pandawa menjalani masa pembuangan di dalam hutan, pada suatu hari Sri Krishna mengunjungi tempat istirahat mereka. Karena tidak menemukan keempat saudara yang lainnya, Sri Krishna bertanya kepada Dharmaraja, “Dimana saudaramu yang lainnya?” Hati Dharmaraja selalu diliputi dengan kebajikan. Sepanjang waktu dan dalam segala keadaan, pikiran Dharmaraja selalu terpusat kepada Tuhan. Sejatinya, semua para Pandawa adalah perwujudan dari kedamaian dan kebajikan.

Para Pandawa yang berhati mulia dihina oleh para Kaurawa yang jahat dengan berbagai cara. Namun tanpa menghiraukan semua kejahatan Kurawa, Pandawa terus mengikuti jalan kebenaran dan kebajikan. Menjawab pertanyaan Krishna, Dharmaraja berkata, “Krishna! Seratus saudara laki-laki saya berada di Hastinapura dan empat lainnya pergi ke hutan untuk suatu pekerjaan.” Berpura-pura terkejut dengan jawaban ini, Krishna berkata, “Apakah kamu sudah tidak waras? Bukankah kalian hanya lima bersaudara? Ucapanmu bahwa seratus saudaramu ada di Hastinapura sama sekali tidak ada artinya.” Dharmaraja berkata, “Bukankah Kaurawa adalah saudara-saudaraku? Selama ada persatuan, kasih, kesabaran, dan empati di antara kami, maka kami adalah 105 bersaudara. Kami semua bersatu ketika kami harus menghadapi musuh dari luar. Tapi, ketika beberapa perbedaan muncul di antara kami, maka kami berlima terpisah dan mereka terpisah.”

Kita harus memahami makna batin dari pernyataan ini dalam kaitannya dengan situasi yang berlaku di masyarakat saat ini. Karena kurangnya persatuan dan munculnya konflik dan perselisihan di dunia saat ini, setiap bagian dan komunitas berdiri sendiri dan terpecah satu dengan yang lainnya. Masing-masing mengikuti kepentingan egoisme mereka sendiri. Akibatnya, ada banyak bagian dalam satu komunitas dan banyak perpecahan dalam satu komunitas.

Hal ini juga disampaikan dalam Bhagavata Purana 12.3.41

कलौ काकिणिकेऽप्यर्थे विगृह्य त्यक्तसौहृदा: ।
त्यक्ष्यन्ति च प्रियान् प्राणान् हनिष्यन्ति स्वकानपि ॥ ४१ ॥

kalau kākiṇike ’py arthe
vigṛhya tyakta-sauhṛdāḥ
tyakṣyanti ca priyān prāṇān
haniṣyanti svakān api

Terjemahan

Di jaman kali yuga manusia akan mengembangkan kebencian dan permusuhan satu dengan yang lain karena masalah kecil yang tidak berarti Begitulah, dengan melupakan segala hubungan baik, mereka siap mengorbankan nyawa dan bahkan mau  membunuh sanak-keluarga sendiri.

Pahamilah bahwa setiap individu berbeda, tetapi prinsip Atma adalah sama dalam semuanya. Karena kurangnya persatuan dalam masyarakat, maka jaman Kali ini menjadi jaman Kalaha (jaman pertikaian). Konflik semakin meningkat dari hari ke hari. Ini disebabkan karena kurangnya kualitas empati dan kesabaran di antara individu-individu. Maka muncul kebencian di antara manusia dengan manusia lainnya, permusuhan dari komunitas dengan komunitas lainnya, daerah dengan daerah lainnya, dan bangsa dengan bangsa lainnya.

Dalam situasi seperti itu, bagaimana bisa ada perdamaian dan keamanan di dunia? Ada begitu banyak perbedaan bahkan dalam sebuah keluarga saat ini. Berapa banyak kekuatan yang ada dalam persatuan! Tapi, sayangnya, orang-orang merusak dan menghancurkan persatuan. Akibatnya, sama sekali tidak adanya nilai-nilai kemanusiaan dalam diri manusia.



Jumat, 08 April 2022

Mengapa kita melantunkan mantra Paramshanti tiga kali setelah berdoa?

Kita melantunkan “Shanthi, Shanthi, Shanthi”, damai, damai, damai. Mengapa kita melantunkan shanti sebanyak 3 kali? Apakah tidak cukup jika melantunkannya 1 kali saja? Atau sebanyak 2 kali saja? Atau melantunkannya sebanyak 4 kali? Mengapa shanti dilantunkan hanya sebanyak 3 kali saja? Kedamaian dibutuhkan pada tiga bagian yaitu damai di badan, damai di pikiran dan damai di spiritual yang disebut dengan “Aadi bhautikam, adi daivikam, adhyatmikam” karena manusia bukanlah hanya satu orang saja namun tiga orang. “Engkau adalah apa yang engkau pikirkan – yaitu tubuh. “Engkau adalah apa yang orang lain pikirkan tentang dirimu – yaitu pikiran. “Engkau adalah apa yang menjadi jati dirimu – yaitu Atma”. Kedamaian pada ketiga bagian ini adalah diperlukan. Itu adalah alasan mengapa mantra “Shanthi” dilantunkan sebanyak 3 kali.

Kita telah melantunkan mantra “Shanthi” selama hampir puluhan tahun namun kita belum mendapatkan kedamaian. Kita hanya mengulang-ulang kata shanti seperti halnya kaset rekaman. Ketika seseorang melantunkan mantra ‘Shanthi’ apakah orang itu benar-benar mengalami kedamaian di dalam dirinya? Kita bertengkar dan berselisih dengan yang lain dan membawa kemarahan kemana-mana. Persembahyangan dan pemujaan dilakukan dengan pikiran yang masih gelisah. Pengulangan mantra Shanthi setelah sembahyang juga dilantunkan dengan kegetiran. Pengulangan mantra ‘Shanthi’ tanpa merasakan damai itu sendiri lantas bagaimana seseorang berharap mendapatkan kedamaian? Oleh karena itu sepanjang waktu dan dalam segala keadaan kata-kata yang lembut harus diucapkan. Kata-kata yang sopan dan lembut menenangkan pikiran dan hati. Jadi, kita seharusnya tidak memberikan ruang bagi hasutan atau kecemasan.

Mengapa kita bisa merasakan kedamaian? Keterikatan (raga) dan kebencian (dwesha) adalah yang bertanggung jawab untuk kekeruhan dan ketakutan yang ada di dunia saat sekarang. Tidak ada seorangpun yang mampu merasakan kedamaian.  Dimana sumber masalahnya? Sumber masalahnya ada di dalam diri kita masing-masing, dan bukan di luar diri kita. Kita sendiri adalah penyebab dari kegelisahan diri. Pikiran-pikiran yang tidak baik adalah yang membuat tanpa adanya kedamaian. Carilah ke dalam diri dan lenyapkan pikiran dan perasaan buruk. Kemudian kita pasti mengalami kedamaian.

Bhagawan Krishna menyampaikan cara mendapatkan kedamaian dalam Bhagavad Gita bab ke 4, sloka 39 :

श्रद्धावान् लभते ज्ञानं तत्पर: संयतेन्द्रिय: |
ज्ञानं लब्ध्वा परां शान्तिमचिरेणाधिगच्छति || 39||

śhraddhāvānllabhate jñānaṁ tat-paraḥ sanyatendriyaḥ
jñānaṁ labdhvā parāṁ śhāntim achireṇādhigachchhati

artinya :

Bagi mereka yang memiliki keyakinan mendalam dan yang menjalankan pengendalian pikiran dan indera mereka mencapai pengetahuan Tuhan. Melalui pengetahuan yang bersifat melampaui pikiran ini, maka mereka dengan cepat mencapai kedamaian tertinggi yang abadi.

Kedamaian mempunyai sifat yang sama dengan ātma. Ātma tidak dapat binasa. Ia tidak dapat mati seperti halnya tubuh dan pikiran. Ātma itu universal, halus, dan sifat sesungguhnya adalah pengetahuan, maka kedamaian juga memiliki sifat-sifat khas ini. Pengetahuan ātma melenyapkan ilusi, kesangsian, dan kesedihan. Karena itu penghayatan ātma memberikan kedamaian yang paling mantap, kesucian, dan kebahagiaan. Jadilah Hindhu yang baik, berbuat sesuai dengan makna kata dari Hindhu. Hindhu berarti, dia yang 'duura' (jauh dari) 'hin' (himsa atau kejahatan, kekerasan). Tenggelamlah dalam Prema; kita akan selalu jauh dari kekerasan, kita kemudian ada dalam kedamaian dan yang lain akan mendapatkan kedamaian dari diri kita. 



Kamis, 07 April 2022

Apakah arti dan makna dari Dharma?

Manusia harus mengabdikan dirinya kepada dharma dan senantiasa mengikuti serta mengamalkan dharma sehingga ia dapat hidup dengan damai dan dunia pun dapat menikmati kedamaian. Ia tidak akan dapat memperoleh kedamaian yang sejati atau memperoleh rahmat Tuhan melalui sarana apa pun juga selain kehidupan yang ber-dharma. Dharma adalah landasan bagi kesejahteraan umat manusia, dharma adalah kebenaran yang tidak tergoyahkan sepanjang masa. Bila dharma tidak berhasil mengubah kehidupan manusia, dunia akan dirundung penderitaan dan ketakutan, dihantam oleh berbagai badai revolusi. Bila kecemerlangan dharma gagal menerangi hubungan antar manusia, maka umat manusia akan terselubung dalam kegelapan duka dan penderitaan.

 

Dharma adalah jalan moral yang merupakan pelita; pelita adalah kebahagiaan (ananda). Naskah suci menyampaikan bahwa Dharma adalah intisari dari kebijaksanaan spiritual (jnana). Dharma ditandai oleh kesucian, kedamaian, kebenaran, dan ketabahan. Dharma adalah yoga (kemanunggalan); Dharma adalah kebenaran (sathya). Sifat-sifat dari Dharma adalah keadilan, pengendalian indera, rasa hormat, cinta kasih, kewibawaan, kebaikan, meditasi, simpati, dan tanpa kekerasan. Dharma membimbingmu menuju pada cinta kasih yang universal dan kesatuan. Ini adalah disiplin yang tertinggi dan yang paling menguntungkan. Semua ‘perkembangan’ ini dimulai dengan Dharma; dan distabilkan oleh kebenaran (sathya). Kebenaran adalah tidak terpisahkan dari dharma. Kebenaran adalah hukum dari alam semesta yang membuat matahari bersinar dan bulan berputar di dalam orbitnya. Dharma adalah tujuan, jalan dan hukum. Dimanapun manusia berpegang teguh pada moralitas maka disana kita dapat melihat hukum kebenaran (sathya-dharma) dalam perbuatan. Di dalam 6.41.55 Bhishma Parva disebutkan sebagai berikut :

 
यतो धर्मस्ततः कृष्णो यतः कृष्णस्ततो जयः
युध्यस्व गच्छ कौन्तेय पृच्छ मां किं ब्रवीमि ते

yato dharmas tataḥ kr̥ṣṇo yataḥ kr̥ṣṇas tato jayaḥ
yudhyasva gaccha kaunteya pr̥ccha māṁ kiṁ bravīmi te

Artinya :

“Dimana ada Dharma, disana ada Krishna; dimana ada keduanya baik Dharma dan Krishna, maka disana ada kemenangan, O Kounteya! Maju dan berperanglah.”

 

Siapakah teladan dari Dharma? Rama adalah perwujudan dari Dharma, yang merupakan dasar atau pondasi dari seluruh alam semesta. Seorang manusia yang sejati adalah seseorang yang mengikuti dan menjalankan prinsip dari dharma. Membakar adalah dharma dari api. Rasa dingin adalah dharma dari es. Api menjadi bukan api lagi ketika kualitas membakarnya hilang. Es bukan lagi ketika kualitas dinginnya hilang. Sama halnya, dharma dari manusia terdapat dalam melakukan perbuatan dengan tubuh dan mengikuti perintah dari hati. Setiap perbuatan yang dijalankan dengan pikiran, perkataan dan perbuatan dalam kesatuan adalah sebuah tindakan dharma. Jadi, sebuah kehidupan dharma adalah kehidupan ilahi.



Rabu, 06 April 2022

Bagaimana caranya mendapatkan kebahagian sejati?

Hari ini kita mungkin mengenakan baju baru, tetapi berapa lama baju itu akan tetap baru? Besok menjadi usang. Tidak ada yang membaca surat kabar atau berita yang sama setiap hari. Surat kabar hari ini menjadi kertas bekas di keesokan harinya. Hidup kita seperti surat kabar. Setelah kita selesai membaca surat kabar, kita tidak suka dan tidka mau lagi membacanya berulang kali. Kita telah dilahirkan saat sekarang, dan kita telah melalui berbagai pengalaman kesenangan dan penderitaan. Cukup sudah cukup. Jangan meminta kelahiran lagi karena kita tidak ingin membaca surat kabar kemarin. Kita harus berdoa, “Ya Tuhan! Engkau telah memberi saya hidup ini dan saya telah melalui semua pengalaman suka dan duka. Saya tidak ingin dilahirkan kembali.”

 

Adi Shankaracharya berkata dalam Bhaja Govindam sloka 21 yaitu : 

पुनरपि जननं पुनरपि मरणं,पुनरपि जननी जठरे शयनम्।
इह संसारे बहुदुस्तारे,कृपयाऽपारे पाहि मुरारे ॥२१॥

punarapi jananam punarapi maranam

punarapi janani jathare sayanam,

iha samsare bahudusare

krpaya’pare pahi murare

 

Artinya :

Ya Tuhan! Saya terjebak dalam siklus kelahiran dan kematian ini; berulang kali, saya mengalami penderitaan tinggal di rahim ibu. Sangat sulit untuk menyeberangi lautan kehidupan duniawi ini. Tolong bawa saya menyeberangi lautan ini dan berikan saya pembebasan.

 

Adi Shankaracharya adalah seorang cendekiawan besar dan berpengalaman dalam semua bentuk pengetahuan. Namun beliau menyebarkan jalan bhakti. Suatu ketika ketika beliau pergi ke sungai Gangga bersama murid-muridnya, beliau melihat seseorang duduk di bawah pohon dan mencoba mempelajari aturan tata bahasa Panini dengan menghafal. Orang itu mengulang-ulang “Dukrun Karane, Dukrun Karane”. Adi Shankaracharya yang masih sangat muda saat itu merasa kasihan padanya. Beliau mendekatinya dan berkata :

“Bhaja Govindam, Bhaja Govindam

Govindam bhaja moodha mathe

Samprapthe sannihithe kale

Nahi nahi rakshati dukrun karane.” -- Bhaja Govindam sloka 1.

Artinya : Oh orang bodoh, lantunkan nama suci Govinda, aturan tata bahasa tidak akan menyelamatkanmu ketika ajal mendekat.

 

Adi Shankaracharya menulis banyak teks Vedanta, tetapi pada akhirnya beliau juga menempuh jalan bhakti. Namasmarana (pengucapan nama suci Tuhan) adalah jalan termudah menuju pembebasan. Ini adalah ajaran utamanya. Bahkan saat ini banyak orang yang melakukan namasmarana, tetapi tidak mengalami intisarinya.

 

Apakah tujuan hidup? Apakah harus dilahirkan kembali? Manusia melakukan berbagai tugas dan menjalani banyak pengalaman di dunia ini. Tapi apa gunanya semua yang dia lakukan jika dia tidak bisa menikmati kebahagiaan abadi? Baik dengan kekayaan maupun dengan tindakan atau dengan mempelajari teks atau dengan darshan, sparshan dan sambhashan (penglihatan, sentuhan dan percakapan) dari jiwa-jiwa mulia, manusia tidak dapat mencapai kebahagiaan abadi. Dia dapat memvisualisasikan manifestasi Tuhan dan mengalami kebahagiaan hanya ketika dia memurnikan hatinya. Kasihi semua. Percaya bahwa Tuhan hadir dalam segala hal. Buat semua orang bahagia. Hanya dengan begitu kita dapat mencapai kebahagiaan. Mustahil bagi kita untuk mencapai kebahagiaan tanpa membuat orang lain bahagia.



Selasa, 05 April 2022

Apa penghalang manusia mengalami kebahagiaan?

Di dunia yang luas ini, banyak diantara kita semuanya yang belum bisa merasakan dan mengerti arti dari kedamaian dan kebahagiaan? Ketika seseorang tidak dapat mengalami kedamaian dan kebahagiaan dalam hidup, apa gunanya hal lainnya? Kedamaian adalah tujuan utama hidup seseorang. Tanpa kedamaian, hidup tidak ada artinya. Itulah sebabnya Thyagaraja yang merupakan orang suci dan penemu Karnataka musik menyampaikan dalam sebuah lantunan lagu, “Tidak ada kebahagiaan tanpa kedamaian.” Seseorang bisa bahagia hanya jika dia memiliki kedamaian. Di sisi lain, jika seseorang tidak memiliki kedamaian, seluruh hidup akan menjadi mimpi buruk. Semuanya tampak gelap bagi orang buta. Sama halnya, betapapun hebatnya diri kita, dunia bukanlah apa-apa bagi kita ketika kita tertidur.

Apa penghalang bagi kita sehingga kita tidak dapat mengalami kedamaian? Resi Patanjali menyebutkan ada lima penderitaan atau Panca klesha dalam Yoga Sutra 2.3 :

अविद्यास्मितारागद्वेषाभिनिवेशाः पञ्च क्लेशाः॥३॥

Avidya-Asmita-Raga-Dvesha-Abhinivesa-pañca kleśāḥ

Kelima ini bertanggung jawab atas penderitaan yang kita alami dan menjadi akar penghalang bagi kita mendapatkan kebahagiaan.

Panca Klesha atau lima jenis penderitaan ini adalah:

1. Bagian pertama adalah Avidya (kebodohan).

Apa yang dimaksud dengan avidya? 'Vid' artinya pengetahuan. Oleh karena itu, avidya berarti kurangnya pengetahuan. Apa makna kurangnya pengetahuan? Ini tidak terkait dengan kurangnya pengetahuan duniawi. Ini adalah kurangnya pengetahuan tentang sifat diri sejati atau Atma. Seseorang menganggap dirinya sendiri adalah manusia bodoh karena avidya. Adalah sulit bagi orang yang masih avidya untuk mendapatkan kedamaian. Seseorang yang berada dalam cengkeraman avidya menjalani kehidupan duniawi, mengidentifikasi dengan tubuh dan pikiran dan kurang kebijaksanaan untuk mengetahui bahwa Atma adalah Tuhan. Keterikatan tubuh dan keterikatan pada dunia menyebabkan penderitaan yang luar biasa. Semua ini adalah akibat dari avidya, yang menyebabkan penderitaan yang tak terkira bagi manusia.

Bagaimana kisah dari tubuh ini? “Di masa anak-anak, tubuh ini bermain dan berlarian bersama dengan teman-temannya. Di masa muda, tubuh ini menjadi mangsa kenikmatan indria. Di usia paruh baya, tubuh ini tersesat dalam pengejaran kekayaan. Tidak dapat melepaskan keterikatan, tubuh ini terperangkap dalam sangkar karma (aksi dan reaksi), dan pada akhirnya tubuh ini kembali menjadi debu.” Ini adalah kebenaran sejati tentang tubuh. Manusia dengan demikian dikejar oleh segudang kesedihan karena identifikasinya dengan tubuh.


2. Bagian kedua adalah Asmita-Klesha (ke-aku-an).

Akar kesedihan yang kedua adalah indera ego (asmita). Seseorang tidak dapat mengenali akarnya penyebab kehidupan duniawi ini dan semua penderitaan terkait dengannya. Seseorang lupa bahwa pikiran adalah akar penyebab semua penderitaan. Sebagai akibat ini, seseorang menjadi korban ketidaktahuan dan khayalan. Seseorang mengalami berbagai jenis penderitaan karena seseorang tidak mampu mengendalikan pikiran, yang menyebabkan semua penderitaan, kesedihan, dan kesulitan. Asmita berarti ketidakmampuan manusia untuk memahami sifat sejati pikiran, yang merupakan akar penyebab semua penderitaan.

 

3. Bagian ketiga adalah Raga-Klesha (keterikatan).

Keinginan (raga) adalah akar kesedihan lainnya yang menyebabkan penderitaan. Apa yang dimaksud dengan raga? Dalam hal ini raga tidak berarti nada dalam sebuah lagu. Dengan menginginkan ini, itu dan semuanya adalah arti dari raga. Ketika keinginan-keinginan ini menjadi tidak terbatas, maka raga akan berubah menjadi roga (penyakit). Banyak diantara kita mengalami penderitaan disebabkan karena kita tidak mampu mengendalikan keinginan-keinginan kita.

Selain itu Raga Klesha juga mengacu pada penderitaan yang muncul dari keterikatan kepada semua bentuk. Semua kecendrungan jahat dalam diri manusia seperti kebencian, iri hati, dsb, berakar dari keterikatan. Adalah keterikatan yang menghancurkan seluruh hidup manusia. Harus ada batasan untuk keterikatan seseorang pada orang dan benda. Keterikatan yang berlebihan adalah penyebab kesedihan.


4. Bagian keempat adalah Dwesha-Klesha (kebencian).

Kemudian muncul akar penderitaan yang disebut kebencian (dwesha klesha). Pada saat kesulitan, penderitaan, dan kehilangan, seseorang mengharapkan bantuan dari seseorang yang dekat. Tetapi jika orang itu menolak untuk membantu, harapan seseorang berubah menjadi kebencian.  Ini adalah hasil dari keegoisan dan mementingkan diri sendiri. Manusia adalah pencari kebahagiaan. Manusia pada dasarnya adalah gudang kebahagiaan. Tetapi tidak menyadari kebenaran tentang dirinya sendiri, manusia mengejar kebahagiaan di seluruh dunia. Dia mengejar pengetahuan sekolah dengan keyakinan bahwa sekolah akan memberinya kebahagiaan. Tapi kebahagiaan menghindarinya. Manusia mencoba untuk menemukan kebahagiaan dalam pekerjaan dan gagal untuk mendapatkannya. Mencari kebahagiaan dalam kehidupan pernikahan, namun bertemu dengan kekecewaan. Manusia juga tidak mendapatkannya melalui anak-anak. Kemudian dia terserap dalam perolehan kekayaan dengan keyakinan bahwa kekayaan akan memberinya sarana untuk mengamankan kebahagiaan. Pada akhirnya, dia mendapati dirinya sebagai makhluk yang menyedihkan ketika kekayaan yang diperolehnya dicuri atau disalahgunakan. Manusia kemudian menyadari bahwa semua upayanya sebelumnya untuk mendapatkan kebahagiaan hanya memberinya kepuasan sementara tetapi bukan kebahagiaan abadi.

 

5. Bagian kelima adalah Abhinivesha-Klesha (kelemahan batin).

Klesha kelima adalah abhinivesha-klesha (penderitaan karena kelemahan mental). Pikiran adalah penyebab dari segala macam keinginan dan rasa sakit. Semua keinginan muncul dalam pikiran. Ketika keinginan tidak terpenuhi, kebencian muncul. Jika keinginan itu terwujud, manusia kehilangan keseimbangan mentalnya. Gagal menyadari bagaimana pikiran adalah penyebab kesedihan dan memberikan kendali bebas pada keinginan adalah abhinivesha-klesha. Hanya ketika manusia mampu melepaskan keinginan dan mengabaikan pikiran, yang merupakan penyebab keinginan, makan akan mampu mengalami ananda (kebahagiaan).